banner banner banner
Stres Dan Trauma Di Masa Pandemi
Stres Dan Trauma Di Masa Pandemi
Оценить:
Рейтинг: 0

Полная версия:

Stres Dan Trauma Di Masa Pandemi

скачать книгу бесплатно


Kekerasan Fisik, Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Kekerasan Seksual

Pada 1980-an, jutaan orang tercatat menjadi korban kekerasan setiap tahun di AS. Dua juta kasus penyiksaan dan penelantaran anak dilaporkan setiap tahun. 3,3 juta anak menyaksikan pelecehan terhadap pasangan setiap tahun.

Kekerasan itu traumatis. Misalnya, korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menderita PTSD, tetapi juga keyakinannya akan keselamatan, kepercayaan, rasa percaya diri, penilaian diri sendiri, dan pandangan tentang moral hancur.

Pada tahun 2002, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan 73 juta anak laki-laki dan 150 juta perempuan di bawah 18 tahun mengalami pelecehan seksual. Di AS, 11% anak sekolahan perempuan dan 4% laki-laki mengalami pelecehan seksual. Di perguruan tinggi, seperenam wanita yang kuliah menjadi korban pemerkosaan. Kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak, sangat ganas, karena dapat menghancurkan harga diri, identitas, keintiman, cinta, kreativitas, dan kepuasan diri. Lebih buruk lagi, kekerasan pada anak membuat mereka tidak dapat memproses apa yang terjadi pada mereka dan penyebab masalah mereka yang berat. Sekalipun mereka tahu, dan protes, anak-anak seringkali tidak dipercaya dan disalahkan atas masalah mereka.

Kematian dan Duka

Setiap orang harus berhadapan dengan kematiannya sendiri dan orang lain. Dalam keadaan normal, seseorang akan melewati tahapan syok akibat kehilangan, penyangkalan, merana, berduka, dan penerimaan.

Kematian yang traumatis sangat menyulitkan karena mereka tak berarti dan tanpa tujuan. Mereka konyol, tidak bermoral, kehormatan, tujuan, atau melengkapi cerita yang pedih. Kematian dan duka yang seperti itu sulit untuk ditangisi dan diterima. Mereka sering menyebabkan duka yang tak kunjung usai, depresi, dan berbagai disfungsi biopsikososial.

Ringkasan

Situasi traumatis yang berbeda menekankan aspek stres dan trauma yang berbeda pula. Bencana mengajarkan kita bahwa situasi traumatis memiliki fase pra-dampak, dampak, pasca dampak, dan fase pemulihan, meskipun kesedihan bisa bertahan selama beberapa dekade. Kita jadi tahu bahwa ada korban primer dan sekunder, misalnya tenaga medis. Kita perlu memperhatikan berbagai kelompok umur (khususnya tidak melupakan anak-anak), dan generasi selanjutnya.

Psikiatri perang menekankan untuk mengingat kembali atau menahan diri di situasi bertarung atau lari. Pelecehan seksual dan Holocaust menekankan konsekuensi biopsikososial dan spiritual dari trauma yang merembet seiring waktu dan generasi.

Tema umum muncul dari situasi traumatis yang berbeda-beda. Pertama, setiap situasi traumatis awalnya disangkal. Selanjutnya, para korban disalahkan. Saat akhirnya diakui, gejala fisik adalah yang pertama kali diidentifikasi. Konsekuensi mental tetap disangkal sampai mereka terlalu nyata untuk diabaikan.

Meskipun situasi yang berbeda memiliki tanda pengenal tertentu, misalnya pertempuran menyoroti PTSD dan rasa kehilangan menyoroti depresi, setiap situasi traumatis mengangkut sederet aneka ragam gejala, yang seiring waktu dapat menjadi satu atau lebih disfungsi fisik, psikologis, atau sosial.

Situasi traumatis dapat menurun seiring waktu, tempat, dan perseorangan. Lebih lanjut, konsekuensi tersebut memancar dari naluri ke dimensi politik, ideologis, dan spiritual. Misalnya, Hitler menyalahkan orang Yahudi atas penderitaan orang Jerman.

Pandemi COVID-19 adalah situasi traumatis lainnya. Kita akan mengusut manifestasinya, dan kemudian melihat kebijaksanaan kolektif apa yang bisa kita peroleh dari situ.


Вы ознакомились с фрагментом книги.
Для бесплатного чтения открыта только часть текста.
Приобретайте полный текст книги у нашего партнера:
Полная версия книги
(всего 220 форматов)